Museum Bank Indonesia adalah sebuah museum di Jakarta, Indonesia yang terletak di Jl. Pintu Besar Utara No.3, Jakarta Barat (depan stasiun Beos Kota), dengan menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828.
Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.
Peresmian Museum Bank Indonesia dilakukan melalui dua tahap, yaitu peresmian tahap I dan mulai dibuka untuk masyarakat (soft opening) pada tanggal 15 Desember 2006 oleh Gubernur Bank Indonesia saat itu, Burhanuddin Abdullah, dan peresmian tahap II (grand opening) oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 21 Juli 2009.
Museum Bank Indonesia buka setiap hari kecuali Senin dan hari libur nasional dan mengunjunginya tidak dipungut biaya.
Kebun Binatang Ragunan adalah sebuah kebun binatang yang terletak di daerah Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. Kebun binatang seluas 140 hektar ini didirikan pada tahun 1864. Di dalamnya, terdapat berbagai koleksi yang terdiri dari 295 spesies dan 4040 spesimen.
Ragunan sempat ditutup selama sekitar tiga minggu sejak 19 September 2005 karena hewan-hewan di dalamnya ada yang terinfeksi flu burung, namun dibuka kembali pada 11 Oktober.
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan suatu kawasan wisata budaya di Jakarta. Terletak pada koordinat 6°18'6.8?LS,106°53'47.2?BT, di tengah-tengah TMII terdapat sebuah danau yang menggambarkan kepulauan Indonesia yang besar dalam bentuknya yang kecil.
Sejarah
Gagasan pembangunan suatu miniatur yang memuat kelengkapan Indonesia dengan segala isinya ini dicetuskan oleh Ibu Negara, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto. Gagasan ini tercetus pada suatu pertemuan di Jalan Cendana no. 8 Jakarta pada tanggal 13 Maret 1970. Melalui miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia. Maka dimulailah suatu proyek yang disebut Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", yang dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita.
TMII mulai dibangun tahun 1972 dan diresmikan pada tanggal 20 April 1975. Berbagai aspek kekayaan alam dan budaya Indonesia sampai pemanfaatan teknologi modern diperagakan di areal seluas 150 hektar.
TMII memiliki logo yang pada intinya terdiri atas dua huruf I dan I. Kedua huruf ini mewakili nama "Indonesia Indah" sedangkan maskotnya berupa tokoh wayang Hanoman yang dinamakan NITRA (Anjani Putra). Maskot Taman Mini "Indonesia Indah" ini diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto, bertepatan dengan dwi windu usia TMII, pada tahun 1991.
Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah salah satu dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.
Sejarah
Monumen Nasional yang terletak di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, dibangun pada dekade 1920an.
Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961, dan diresmikan 12 Juli 1975 oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto.
Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terbangkitnya inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.
Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia.
Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari libur.
Konstruksi dan Pameran:
Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 meter.
Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.
Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.
Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.
Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).
Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.
Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario Bross di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".
Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.
Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari, mulai pukul 09.00 - 16.00 Waktu Indonesia Barat.
Tugu Proklamasi atau Tugu petir adalah tugu peringatan proklamasi kemerdekaan RI. Tugu Proklamasi berdiri di tanah lapang kompleks Taman Proklamasi di Jl. Proklamasi (dahulunya disebut Jl. Pegangsaan Timur No. 56), Jakarta Pusat. Pada kompleks juga terdapat monumen dua patung Soekarno-Hatta berukuran besar yang berdiri berdampingan, mirip dengan dokumentasi foto ketika naskah proklamasi pertama kali dibacakan. Di tengah-tengah dua patung proklamator terdapat patung naskah proklamasi terbuat dari lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah ketikan aslinya.
Setelah era reformasi, selain menjadi tempat yang spesial untuk acara peringatan Hari Kemerdekaan RI tiap tahunnya, lokasi ini pun menjadi tempat pilihan bagi berkumpulnya para demonstran untuk menyuarakan pendapat-pendapatnya.
Lain halnya ketika sore menjelang. Pada hari-hari yang biasa, para penduduk yang tinggal tak jauh dari lingkungan taman ini kerap berkunjung ke Tugu Proklamasi untuk berbagai aktivitas. Tempat ini menjadi tempat favorit anak-anak bermain, arena berolahraga, tempat berkumpul dan bertemu, atau hanya untuk duduk-duduk saja menghabiskan sore hingga senja datang.
Sejarah
Naskah Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan untuk pertama kalinya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 di halaman kediaman Soekarno Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Rumah bersejarah ini, yang dulu disebut "Gedung Proklamasi", sudah tidak ada lagi sejak tahun 1960, Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.
Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".
Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan "Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.
Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya "Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia"[1] yang langsung terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 di masa Sekutu masih berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, "Atas Oesaha Wanita Djakarta". Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.
Kisah tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku "19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta", hasil wawancara dengan Titiek WS. Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.
Pada menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).
Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Peristiwa mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut "Tugu Linggarjati" harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.
Bersama sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu Linggarjati. Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.
Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden M. Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956).
Pada 17 Agustus 1980, Presiden Soeharto meresmikan monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi.